Minggu, 06 Maret 2011

☺SEMIOTIK☺-Oleh: Kurnia Setiawan

Semiotik berasal dari bahasa Yunani ---> seme ; semeiotikos, penafsir tanda, yang berarti “sign.
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti bahasa, sinyal, kode, dll. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Tanda ataupun simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Manusia dengan perantaraan tanda – tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.
Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis,  semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

Perintis awal semiotika adalah Plato yang memeriksa asal muasal bahasa. Aristoteles mencermati kata benda dalam bukunya “Poetics dan On Interpretation”. Terdapat perbedaan mendasar antara tanda alami (natural) dan tanda yang disepakati (konvensional), yaitu jika tanda alami, berarti tanda dibawah sadar seperti mendung. Jika tanda konvensional merupakan gejala, contoh nya symptom, seperti tidak berarti menggelengkan kepala. Itu sudah merupakan tanda yang sudah disepakati.

Beberapa Tokoh Semiotik :
  • St. Agustinus (354 – 430)

Mengembangkan teori mengenai signa data (tanda konvensional). Persoalan tanda menjadi objek pemikiran filosofis. Studi dibatasi hubungan kata fisik dengan kata mental.




  •     William of Ockham, OFM (1285 – 1349)
    

        Mempertajam studi tanda. Tanda dikategorikan berdasarkan sifatnya. Apakah ia di alam mental dan bersifat pribadi, ataukah diucapkan atau ditulis untuk publik.



·       John Locke (1632 – 1740)
Melihat eksplorasi mengenai tanda akan mengarah pada terbentuknya basis logika baru. Hal ini tertuang dalam karyanya “An Essay Concerning Human Understanding (1690)”.







Ferdinand de Saussure &  Charles Sanders Peirce


Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa  analisis semiotik modern telah di warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 -1914). Peirce menyebut  model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Ia mengembangkan teori tanda yang dibentuk oleh tiga sisi yaitu :
·   Representamen (tanda)
·   Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda)
·   Interpretan (efek yang ditimbulkan; hasil)


Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics  (1913). Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis “The linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign”. Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda (sign).  Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya.
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah idea tau petanda (signified). Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan system dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan  seperti dua halaman pada selembar kertas. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung an itu adalah konvensi. Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang.
Petanda selalu akan lepas dar i jang-kauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not.
Dengan demikian ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari,  tetapi juga  segala  sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects.  Sementara de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda -tandasebagai bagian dari kehidupan sosial.
Charles Sanders Peirce (1839 - 1914)

 Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci dari pada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Siapakah Peirce?  Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya  ia terlalu orisional. Di alam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika.
Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa  segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10).  Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns.
-       Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin.
-       Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan.
-       Legisigns  adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeks dan simbol
-       Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan).
-       Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya.
-   Simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan hubungan ketiganya.


Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki cirri-ciri struktural sama sekali (Hoed, 2002). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O).  Kemudian  adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara  R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda  memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memaham i bahwa dalam suatu kebudaya -an kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.

Roland Barthes (1915-1980) 

Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915-1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen-komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya. Ia berpandangan bahwa sebuah system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori significant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa.  Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993).

Umberto Eco (1932 - tidak tercatat)
Seorang sejarahwan, penulis esai, novelis dan semiotisi dari Italia. Menurut Beliau, tanda dapat digunakan menyatakan kebenaran, sekaligus juga untuk mengatakan kebohongan.




    0 komentar:

    Posting Komentar